Senin, 19 Oktober 2009

Hukum Keluarga dan Waris UU Perkawinan jika tidak ingin ayah kandung menjadi wali. (yhutama)

Pertanyaan :
Keponakan saya ingin melakukan pernikahan tanpa ayah kandungnya. Kedua orang tuanya telah bercerai. Dia ingin menikah tanpa dihadiri ayahnya, yang menjadi wali adalah adik dari ibunya. Bagaimana hukumnya apakah sah? Apakah ayahnya dapat membatalkan perkawinannya? Terima kasih.

Jawaban :

Kedudukan seorang ayah sebagai wali nikah tidak diatur secara materiil dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Namun, berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) UUP dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Oleh karenanya pengaturan mengenai wali nikah untuk orang yang beragama Islam merujuk pada ketentuan hukum Islam. Ketentuan hukum islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia yang menyangkut dengan hukum keluarga bidang perkawinan adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga, pertanyaan Saudara akan kami jawab berdasarkan ketentuan-ketentuan KHI.

Salah satu rukun perkawinan yang disebutkan dalam pasal 14 KHI adalah adanya wali nikah. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita dan yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh (pasal 20 ayat [1] KHI).

KHI mengenal dua jenis wali nikah yakni wali nasab dan wali hakim. Demikian sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 ayat (2) KHI. Pokok pembahasan selanjutnya adalah mengenai wali nasab. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Adapun kelompok wali nasab menurut ketentuan pasal 21 ayat (1), yakni :

1. Kelompok pertama, yaitu kelompok laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

2. Kelompok kedua, yaitu kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

3. Kelompok ketiga, yaitu kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

4. Keempat, yaitu kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturuan laki-laki mereka.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang paling berhak untuk menjadi wali nikah dalam perkawinan adalah ayah.

Hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur (pasal 22 KHI). Sehingga, apabila seorang ayah memenuhi persyaratan untuk menjadi wali nikah, maka dialah yang berhak untuk menjadi wali nikah. Dengan demikian, adik dari ibu perempuan tersebut tidak berhak untuk menjadi wali dan perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi ketentuan mengenai rukun perkawinan.

Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut pasal 73 KHI adalah:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri

2. Suami atau isteri

3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang

4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Ayah dari anak tersebut dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan karena ia merupakan keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari anaknya dan juga pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun perkawinan.

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

Peraturan perundang-undangan terkait:

1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991)

Sumber :http://www.hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=6661

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Oke oke oke