C. KEDUDUKAN HUKUM MINUTA AKTA, SALINAN, KUTIPAN DAN GROSSE AKTA
Secara historis tugas dan kewenangan utama notaris adalah membuat akta otentik baik akta pejabat maupun akta partij dalam bentuk minuta akta, kecuali untuk akta akta tertentu dan atas permintaan yang langsung berkepentingan, notaris dapat membuat akta dalam bentuk in originali.
Minuta Akta adalah asli akta yang disimpan dan merupakan bagian dalam protokol notaris dan dari minuta akta yang disimpan ini, notaris berwenang untuk mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta. Sedangkan akta in Originali adalah asli akta yang diberikan kepada yang langsung berkepentingan dalam akta dan akta in originali ini tidak disimpan dalam protokol notaris, sehingga untuk akta dalam in originali, notaris tidak dapat mengeluarkan Salinan Akta, Kutipan Akta dan Grosse Akta.
Dari semua akta yang dbuat dalam bentuk Minuta Akta, notaris berwenang dan sekaligus berkewajiban untuk mengeluarkan dan memberikan Salinan Akta atau Kutipan Akta kepada yang langsung berkepentingan dalam akta, tanpa pembatasan jumlah Salinan atau Kutipan Akta, kecuali untuk Grosse Akta dengan irah irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” notaris hanya dapat mengeluarkan 1 (satu) Grosse Akta Pertama kepada yang langsung berkepentingan dalam akta, sedangkan untuk Grosse Akta Kedua dan selanjutnya hanya dapat diberikan kepada yang langsung berkepentingan dalam akta berdasarkan Penetapan Pengadilan. UU Jabatan Notaris menegaskan bahwa pihak yang langsung berkepentingan dalam akta adalah penghadap (pihak yang datang menghadap notaris dan menugaskan notaris untuk membuat akta serta menandatangani akta) atau pihak yang diwakili oleh penghadap. Kekuatan Bukti tulisan sebagai alat bukti dalam perkara perdata terletak pada akta aslinya dalam hal ini yaitu minuta aktanya. Salinan, Kutipan dan Grosse akta mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan aslinya, jika isi salinan, kutipan dan Grosse akta sama bunyinya dengan asli aktanya (lihat Pasal 1888 jo 1889 KUH.Perdata). Kewajiban menyampaikan atau menyerahkan alat bukti tulisan ada pada para pihak dalam perkara (lihat pasal 121 ayat 1 HIR), dan untuk bukti tulisan otentik, para pihak dapat mengajukan bukti berupa Salinan Akta atau Kutipan Akta atau Grosse Akta, bukan Minuta Akta atau Copy Minuta Akta (lihat UU Jabatan Notaris).
D. LINGKUP PENERAPAN PASAL 66 UUJN
Pasal 66 ayat 1 UU Jabatan Notaris berbunyi:
“untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. Mengambil foto copy minuta akta dan/atau surat surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan;
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Regulasi pelaksanaan ketentuan pasal 66 UUJN diatur dalam beberapa Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI. Keanggotaan Majelis Pengawas Notaris baik untuk tingkat Dearah Kota/Kabupaten, Wilayah Propinsi mapun Pusat terdiri dari 9 (Sembilan) orang yaitu 3 (tiga) orang dari unsur akademisi/ahli, 3 (tiga) orang dari unsur Pemerintah dan 3 (tiga) orang dari unsur Organisasi Notaris. Tugas dan kewenangan Majelis Pengawas` Daerah yang bersifat adminitsratif dan memerlukan persetujuan rapat anggota yang harus dihadiri paling sedikit oleh 5 (lima) orang anggota yang mewakili paling sedikit dari 2 (dua) unsur diantaranya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penunut Umum atau Hakim yang dimaksud dalam pasal 66 UUJN. Lingkup penerapan pasal 66 UUJN tidak berlaku dalam perkara perdata, dengan alasan dan dasar hukum:
a. Istilah Penyidik dan Penuntut Umum hanya dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dan tidak dikenal dalam Hukum Acara Perdata (HIR);
b. Hakim dalam pengertian pasal 66 UUJN diartikan sebagai hakim Pidana, oleh karena dalam perkara perdata, hakim bersifat pasif dan kewajiban menyampaikan bukti bukti tulisan hanya ada ditangan para pihak bukan hakim dalam perkara perdata;
c. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI nomor M.03.HT.10 tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, disyaratkan diantaranya adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris.
E. PENUTUP
-Dalam kasus kasus yang diuraikan dalam pokok masalah, diantaranya jika ada 2 salinan akta yang dikeluarkan oleh notaris yang sama dengan nomor dan tanggal yang sama, namun adanya perbedaan substansi mengenai jumlah hutang, maka dalam perkara perdata seharusnya para pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam akta dapat meminta lagi salinan akta atau melalui Hakim dapat meminta salinan akta yang baru bukan copy minuta akta atau minuta aktanya. Jika ada dugaan perubahan perubahan berupa coretan, tambahan, hapusan dan sisipan yang tidak sesuai dengan UU Jabatan Notaris atau adanya dugaan pemalsuan maka para pihak dapat menyelesaikan masalah tersebut melalui mekanisme perkara pidana, yang memungkinkan dilakukannya penyitaan terhadap minuta akta untuk kepentingan foto forensik. Sepatutnya Majelis Pengawas Notaris untuk menolak permintaan dari para pihak atau hakim dalam perkara perdata, untuk dapat mengambil foto copy minuta akta atau minuta aktanya. Begitu pula permintaan dari para pihak atau hakim untuk menghadirkan notaris sebagai saksi berkaitan dengan akta akta otentik yang dibuatnya, mengingat ketentuan pasal 66 UUJN hanya berlaku dalam perkara pidana dan untuk menghormati bukti tulisan otentik yang memiliki sifat pembuktian yang sempurna dan mengikat, sehingga kehadiran kesaksian notaris tidak lagi urgen dan relevan dalam menguatkan dalil dalil yang diajukan oleh pihak pihak dalam perkara perdata.
Bandung, 18 April 2008
PIETER EL. SH.,MH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Oke oke oke