C. KEDUDUKAN HUKUM MINUTA AKTA, SALINAN, KUTIPAN DAN GROSSE AKTA
Secara historis tugas dan kewenangan utama notaris adalah membuat akta otentik baik akta pejabat maupun akta partij dalam bentuk minuta akta, kecuali untuk akta akta tertentu dan atas permintaan yang langsung berkepentingan, notaris dapat membuat akta dalam bentuk in originali.
Minuta Akta adalah asli akta yang disimpan dan merupakan bagian dalam protokol notaris dan dari minuta akta yang disimpan ini, notaris berwenang untuk mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta. Sedangkan akta in Originali adalah asli akta yang diberikan kepada yang langsung berkepentingan dalam akta dan akta in originali ini tidak disimpan dalam protokol notaris, sehingga untuk akta dalam in originali, notaris tidak dapat mengeluarkan Salinan Akta, Kutipan Akta dan Grosse Akta.
Dari semua akta yang dbuat dalam bentuk Minuta Akta, notaris berwenang dan sekaligus berkewajiban untuk mengeluarkan dan memberikan Salinan Akta atau Kutipan Akta kepada yang langsung berkepentingan dalam akta, tanpa pembatasan jumlah Salinan atau Kutipan Akta, kecuali untuk Grosse Akta dengan irah irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” notaris hanya dapat mengeluarkan 1 (satu) Grosse Akta Pertama kepada yang langsung berkepentingan dalam akta, sedangkan untuk Grosse Akta Kedua dan selanjutnya hanya dapat diberikan kepada yang langsung berkepentingan dalam akta berdasarkan Penetapan Pengadilan. UU Jabatan Notaris menegaskan bahwa pihak yang langsung berkepentingan dalam akta adalah penghadap (pihak yang datang menghadap notaris dan menugaskan notaris untuk membuat akta serta menandatangani akta) atau pihak yang diwakili oleh penghadap. Kekuatan Bukti tulisan sebagai alat bukti dalam perkara perdata terletak pada akta aslinya dalam hal ini yaitu minuta aktanya. Salinan, Kutipan dan Grosse akta mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan aslinya, jika isi salinan, kutipan dan Grosse akta sama bunyinya dengan asli aktanya (lihat Pasal 1888 jo 1889 KUH.Perdata). Kewajiban menyampaikan atau menyerahkan alat bukti tulisan ada pada para pihak dalam perkara (lihat pasal 121 ayat 1 HIR), dan untuk bukti tulisan otentik, para pihak dapat mengajukan bukti berupa Salinan Akta atau Kutipan Akta atau Grosse Akta, bukan Minuta Akta atau Copy Minuta Akta (lihat UU Jabatan Notaris).
D. LINGKUP PENERAPAN PASAL 66 UUJN
Pasal 66 ayat 1 UU Jabatan Notaris berbunyi:
“untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. Mengambil foto copy minuta akta dan/atau surat surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan;
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Regulasi pelaksanaan ketentuan pasal 66 UUJN diatur dalam beberapa Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI. Keanggotaan Majelis Pengawas Notaris baik untuk tingkat Dearah Kota/Kabupaten, Wilayah Propinsi mapun Pusat terdiri dari 9 (Sembilan) orang yaitu 3 (tiga) orang dari unsur akademisi/ahli, 3 (tiga) orang dari unsur Pemerintah dan 3 (tiga) orang dari unsur Organisasi Notaris. Tugas dan kewenangan Majelis Pengawas` Daerah yang bersifat adminitsratif dan memerlukan persetujuan rapat anggota yang harus dihadiri paling sedikit oleh 5 (lima) orang anggota yang mewakili paling sedikit dari 2 (dua) unsur diantaranya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penunut Umum atau Hakim yang dimaksud dalam pasal 66 UUJN. Lingkup penerapan pasal 66 UUJN tidak berlaku dalam perkara perdata, dengan alasan dan dasar hukum:
a. Istilah Penyidik dan Penuntut Umum hanya dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dan tidak dikenal dalam Hukum Acara Perdata (HIR);
b. Hakim dalam pengertian pasal 66 UUJN diartikan sebagai hakim Pidana, oleh karena dalam perkara perdata, hakim bersifat pasif dan kewajiban menyampaikan bukti bukti tulisan hanya ada ditangan para pihak bukan hakim dalam perkara perdata;
c. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI nomor M.03.HT.10 tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, disyaratkan diantaranya adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris.
E. PENUTUP
-Dalam kasus kasus yang diuraikan dalam pokok masalah, diantaranya jika ada 2 salinan akta yang dikeluarkan oleh notaris yang sama dengan nomor dan tanggal yang sama, namun adanya perbedaan substansi mengenai jumlah hutang, maka dalam perkara perdata seharusnya para pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam akta dapat meminta lagi salinan akta atau melalui Hakim dapat meminta salinan akta yang baru bukan copy minuta akta atau minuta aktanya. Jika ada dugaan perubahan perubahan berupa coretan, tambahan, hapusan dan sisipan yang tidak sesuai dengan UU Jabatan Notaris atau adanya dugaan pemalsuan maka para pihak dapat menyelesaikan masalah tersebut melalui mekanisme perkara pidana, yang memungkinkan dilakukannya penyitaan terhadap minuta akta untuk kepentingan foto forensik. Sepatutnya Majelis Pengawas Notaris untuk menolak permintaan dari para pihak atau hakim dalam perkara perdata, untuk dapat mengambil foto copy minuta akta atau minuta aktanya. Begitu pula permintaan dari para pihak atau hakim untuk menghadirkan notaris sebagai saksi berkaitan dengan akta akta otentik yang dibuatnya, mengingat ketentuan pasal 66 UUJN hanya berlaku dalam perkara pidana dan untuk menghormati bukti tulisan otentik yang memiliki sifat pembuktian yang sempurna dan mengikat, sehingga kehadiran kesaksian notaris tidak lagi urgen dan relevan dalam menguatkan dalil dalil yang diajukan oleh pihak pihak dalam perkara perdata.
Bandung, 18 April 2008
PIETER EL. SH.,MH
Tulisan seorang newcomer....membuat catatan untuk alur IMAJINASI yang akan menampilkan JATI DIRI , berbagai AKTIFITAS dan INFORMASI yang tentunya menjadi hal yang bermanfaat. Untuk sekedar share info/ilmu hubungi: email: arigawa@gmail.com
Minggu, 04 April 2010
KESAKSIAN NOTARIS BUKAN MERUPAKAN KEWAJIBAN HUKUM YANG BERSIFAT IMPERATIF DALAM PERKARA PERDATA
Oleh: PIETER LATUMETEN, SH.,MH
A. POKOK MASALAH
Berawal dengan ditariknya seorang notaris sebagai salah satu TERGUGAT dalam suatu perkara perdata antara BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL (KREDITUR) selaku PENGGUGAT dan NASABAH DEBITUR selaku TERGUGAT, dengan obyek sengketa adanya 2 (dua) salinan akta Pengakuan Hutang yang dibuat dihadapan Notaris yang sama dengan nomor dan tanggal yang sama, namun substansi jumlah hutangnya berbeda dalam 2 (dua) salinan akta tersebut. Masing-masing pihak berpegang kepada salinan akta Pengakuan hutangnya. Dalam kasus ini Majelis Hakim melalui suratnya kepada MAJELIS PENGAWAS NOTARIS telah meminta persetujuan agar foto copy minuta aktanya dapat dibawa oleh Notaris yangbersangkutan dalam sidang pengadilan. Apakah Majelis Pengawas Notaris berwenang memberikan persetujuan kepada Majelis Hakim untuk mengambil foto copy minuta akta yang disimpan dalam protokol notaris dalam perkara aquo? Secara empirik banyak notaris yang diminta oleh salah satu kuasa hukum yang menjadi pihak dalam perkara perdata untuk hadir dimuka persidangan sebagai saksi berkaitan dengan akta akta yang dibuatnya. Bahkan ada kuasa hukum yang meminta Majelis Hakim memanggil Notaris untuk hadir sebagai saksi dalam perkara perdata. Dapatkah Notaris dipaksa untuk hadir sebagai saksi dalam perkara perdata? Apakah untuk bertindak sebagai saksi, diperlukan persetujuan Majelis Pengawas Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 UUJN? Uraian kasus diatas hanya merupakan Sekelumit gambaran kasus perdata yang dihadapi Notaris, dan masih banyak lagi secara empirik kasus kasus perdata dengan segala kompleksitasnya yang dihadapi Notaris, yang tidak diuraikan dalam gambaran kasus diatas. Tulisan singkat ini akan mencoba memahami ruang lingkup makna pasal 66 UUJN dalam penerapannya pada perkara perdata yang melibatkan Notaris sebagai pihak atau sebagai saksi, dan sekaligus untuk menjawab apakah Majelis Pengawas Notaris memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan kepada Hakim dalam pemanggilan Notaris sebagai saksi dan atau pengambilan foto copy minuta, surat-surat lainnya yang dilekatkan pada minuta akta dan protokol notaris dalam penyimpanan atau pengambilan minuta akta, surat surat yang dilekatkan pada minuta akta dan protokol notaris dalam penyimpanan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 UUJN.
B. PROSES PERADILAN PERDATA
Proses peradilan perdata tidak mengharuskan putusan hakim didasarkan pada kebenaran materil namun cukup kebenaran formil (formeel Waarheid) yang diwujudkan berdasarkan fakta fakta yang diajukan para pihak selama proses persidangan berlangsung, tanpa diperlukan keyakinan hakim. Fungsi dan peran hakim dalam perkara perdata bersifat PASIF maksudnya hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan, Hakim tidak dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu serta cukup atau tidak cukupnya alat bukti yang diajukan diserahkan sepenuhnya kepada para pihak dan hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari yang dituntut atau tidak boleh melanggar Ultra Vires atau Ultra Petitum Partium (lihat pasal 178 ayat 3 HIR). Hal hal ini disimpulkan dari beberapa ketentuan yang diatur dalam HIR dan atau KUH.Perdata diantaranya menurut pasal 1866 KUH.Perdata, alat bukti yang dapat digunakan dalam perkara perdata sesuai dengan urutan prioritasnya terdiri dari: (1) Bukti tulisan: (2) Bukti dengan saksi saksi; (3) Persangkaan; (4) Pengakuan dan (5) Sumpah. Penempatan bukti tulisan dalam urutan pertama, oleh karena setiap perbuatan, keadaan atau kenyataan dibidang perdata cukup dibuktikan dengan catatan atau tulisan yang dituangkan dalam bukti surat atau akta dan hal ini menunjukkan bahwa proses pembuktian dalam perkara perdata cukup dengan terpenuhinya kepenaran formil, lain hal dengan perkara pidana yang menganut stelsel negatif menurut UU, dimana hakim dalam mengambil putusan selain didasarkan kepada batas minimum alat bukti yang sah juga harus didukung oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa. Dalam perkara pidana alat bukti keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama oleh karena perkara pidana mengutamakan kesaksian dari orang yang secara langsung mengalami, melihat dan mendengar sendiri secara langsung tindak pidana yang terjadi. Selain itu sikap pasif Hakim ditunjukkan melalui pembagian beban pembuktian dalam proses peradilan perdata, yang diatur dalam pasal 163 HIR jo 1865 KUH.Perdata yang menyatakan:
“setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”
Essensi pasal ini mengatur kewajiban pembuktian bagi para pihak bukan bagi hakim, dimana jika seseorang mendalilkan mempunyai suatu hak maka ia wajib membuktikan adanya hak tersebut. Begitu pula sebaliknya jika seseorang membantah hak orang lain, maka ia wajib membuktikan bantahannya tersebut. Bertitik tolak dari pasal ini, setiap gugatan perdata memberikan hak dan kesempatan kepada PENGGUGAT dan TERGUGAT, untuk saling menyanggah atau membantah dalil dalil yang diajukan melalui surat gugatan, surat jawaban, replik, duplik, pengajuan bukti bukti dan kesimpulan yang disampaikan oleh masing masing pihak. Inisiatif pengajuan fakta fakta berdasarkan alat bukti yang sah sepenuhnya berada ditangan para pihak yang berperkara bukan pada hakim yang menangani perkara. Pada asasnya dalam perkara perdata sesuai dengan ketentuan pasal 121 ayat 1 HIR yang wajib menyediakan saksi menyampaikan bukti bukti tulisan adalah pihak yang berperkara. Menjadi saksi dalam perkara perdata pada prinsipnya bukan suatau KEWAJIBAN HUKUM YANG BERSIFAT IMPERATIF, kecuali ada alasan yang sah untuk menghadirkan saksi yang ditentukan dalam pasal 139 ayat 1 dan pasal 143 HIR yaitu:
a. Saksi berdomisili dalam wilayah hukum PN yang mengadili. Bilamana saksi berdomisili diluar wilayah Hukum PN yang mengadili, maka dalam hal ini saksi tidak dapat dipaksa untuk hadir dipersidangan. Pemeriksaan terhadap diri saksi dapat didelegasikan kepada PN tempat tinggal saksi;
b. Keterangan yang akan diberikan sebagai sangat urgen dan relevan dalam meneguhkan dalil PENGGUGAT atau bantahan TERGUGAT;
Jika seorang saksi memenuhi kriteria tersebut, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat memanggil secara resmi melalui juru sita kepada saksi yangbersangkutan. Bilamana saksi ingkar memenuhi panggilan pertama yang dilakukan juru sita tersebut, maka saksi akan dipanggil untuk kedua kalinya melalui juru sita dengan sanksi:
a. Pemanggilan kedua dibebankan kepada saksi sendiri;
b. Saksi dijatuhi hukuman untuk membayar segala biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan panggilan pertama.
Dan bilamana dalam panggilan kedua ini saksi tetap ingkar, maka PN dapat membawa saksi secara paksa disidang pengadilan, melalui bantuan aparat kepolisian (pegawai umum), dan terhadap saksi tersebut dapat dihukum membayar ganti rugi yang diderita kedua belah pihak atas ingkarnya saksi.
Apakah kesaksian Notaris dalam pembuatan akta otentik, merupakan kewajiban hukum yang bersifat imperatif sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 s/d 143 HIR. Sesuai dengan ketentuan pasal 1870 KUH.Perdata jo pasal 165 HIR, pada akta otentik melekat kekuatan pembuktian lengkap (sempurna) dan mengikat, sah sebagai akta otentik, pada akta otentik mencukupi batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti lain, sehingga terhadap akta otentik ini, hakim wajib:
a. Menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna;
b. Menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan cukup terbukti;
c. Terikat akan kebenaran yang dibuktikan dengan akta tersebut dan harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil putusan dalam penyelesaian sengketa.
Pada prinsipnya akta otentik yang memiliki pembuktian sempurna dan mengikat namun tidak bersifat menentukan atau memaksa, dan karena itu terhadap akta otentik dapat diajukan bukti lawan. Bagi kesaksian Notaris yang berkaitan dengan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapannya dalam perkara perdata bukan merupakan kewajiban hukum yang bersifat imperatif, oleh karena akta otentik telah memberikan kekuatan bukti yang mencukupi tanpa perlu bantuan alat bukti lainnya menurut undang-undang.
Sebagai perbandingan di Negara Inggris yang menganut sistim hukum Common law, kekuatan pembuktian atas akta notaris tidak terlepas dari prinsip dasar dalam hukum pembuktian yang dikenal di Inggris yaitu untuk membuktikan suatu kebenaran atas kenyataan pada prinsipnya didasarkan pada kesaksian dan pernyataan secara lisan dari saksi-saksi yang diberikan dibawah sumpah dalam suatu peridangan terbuka (the principle of orality), sehingga akta notaris yang merupakan suatu dokumen tertulis berkedudukan sebagai suatu bukti permulaan kecuali notaris yang membuatnya hadir di persidangan sebagai saksi dan memberikan pernyataan dibawah sumpah atas kenyataan yang diuraikan dalam akta tersebut, baru akta notaris memiliki kekuatan bukti otentik. Dalam sistim hukum civil law, akta notaris sudah merupakan akta otentik yang telah mencukup minimal alat bukti yang sah, sehingga kehadiran notaris dalam persidangan terbuka tidak memiliki lagi urgensinya.
A. POKOK MASALAH
Berawal dengan ditariknya seorang notaris sebagai salah satu TERGUGAT dalam suatu perkara perdata antara BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL (KREDITUR) selaku PENGGUGAT dan NASABAH DEBITUR selaku TERGUGAT, dengan obyek sengketa adanya 2 (dua) salinan akta Pengakuan Hutang yang dibuat dihadapan Notaris yang sama dengan nomor dan tanggal yang sama, namun substansi jumlah hutangnya berbeda dalam 2 (dua) salinan akta tersebut. Masing-masing pihak berpegang kepada salinan akta Pengakuan hutangnya. Dalam kasus ini Majelis Hakim melalui suratnya kepada MAJELIS PENGAWAS NOTARIS telah meminta persetujuan agar foto copy minuta aktanya dapat dibawa oleh Notaris yangbersangkutan dalam sidang pengadilan. Apakah Majelis Pengawas Notaris berwenang memberikan persetujuan kepada Majelis Hakim untuk mengambil foto copy minuta akta yang disimpan dalam protokol notaris dalam perkara aquo? Secara empirik banyak notaris yang diminta oleh salah satu kuasa hukum yang menjadi pihak dalam perkara perdata untuk hadir dimuka persidangan sebagai saksi berkaitan dengan akta akta yang dibuatnya. Bahkan ada kuasa hukum yang meminta Majelis Hakim memanggil Notaris untuk hadir sebagai saksi dalam perkara perdata. Dapatkah Notaris dipaksa untuk hadir sebagai saksi dalam perkara perdata? Apakah untuk bertindak sebagai saksi, diperlukan persetujuan Majelis Pengawas Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 UUJN? Uraian kasus diatas hanya merupakan Sekelumit gambaran kasus perdata yang dihadapi Notaris, dan masih banyak lagi secara empirik kasus kasus perdata dengan segala kompleksitasnya yang dihadapi Notaris, yang tidak diuraikan dalam gambaran kasus diatas. Tulisan singkat ini akan mencoba memahami ruang lingkup makna pasal 66 UUJN dalam penerapannya pada perkara perdata yang melibatkan Notaris sebagai pihak atau sebagai saksi, dan sekaligus untuk menjawab apakah Majelis Pengawas Notaris memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan kepada Hakim dalam pemanggilan Notaris sebagai saksi dan atau pengambilan foto copy minuta, surat-surat lainnya yang dilekatkan pada minuta akta dan protokol notaris dalam penyimpanan atau pengambilan minuta akta, surat surat yang dilekatkan pada minuta akta dan protokol notaris dalam penyimpanan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 UUJN.
B. PROSES PERADILAN PERDATA
Proses peradilan perdata tidak mengharuskan putusan hakim didasarkan pada kebenaran materil namun cukup kebenaran formil (formeel Waarheid) yang diwujudkan berdasarkan fakta fakta yang diajukan para pihak selama proses persidangan berlangsung, tanpa diperlukan keyakinan hakim. Fungsi dan peran hakim dalam perkara perdata bersifat PASIF maksudnya hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan, Hakim tidak dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu serta cukup atau tidak cukupnya alat bukti yang diajukan diserahkan sepenuhnya kepada para pihak dan hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari yang dituntut atau tidak boleh melanggar Ultra Vires atau Ultra Petitum Partium (lihat pasal 178 ayat 3 HIR). Hal hal ini disimpulkan dari beberapa ketentuan yang diatur dalam HIR dan atau KUH.Perdata diantaranya menurut pasal 1866 KUH.Perdata, alat bukti yang dapat digunakan dalam perkara perdata sesuai dengan urutan prioritasnya terdiri dari: (1) Bukti tulisan: (2) Bukti dengan saksi saksi; (3) Persangkaan; (4) Pengakuan dan (5) Sumpah. Penempatan bukti tulisan dalam urutan pertama, oleh karena setiap perbuatan, keadaan atau kenyataan dibidang perdata cukup dibuktikan dengan catatan atau tulisan yang dituangkan dalam bukti surat atau akta dan hal ini menunjukkan bahwa proses pembuktian dalam perkara perdata cukup dengan terpenuhinya kepenaran formil, lain hal dengan perkara pidana yang menganut stelsel negatif menurut UU, dimana hakim dalam mengambil putusan selain didasarkan kepada batas minimum alat bukti yang sah juga harus didukung oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa. Dalam perkara pidana alat bukti keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama oleh karena perkara pidana mengutamakan kesaksian dari orang yang secara langsung mengalami, melihat dan mendengar sendiri secara langsung tindak pidana yang terjadi. Selain itu sikap pasif Hakim ditunjukkan melalui pembagian beban pembuktian dalam proses peradilan perdata, yang diatur dalam pasal 163 HIR jo 1865 KUH.Perdata yang menyatakan:
“setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”
Essensi pasal ini mengatur kewajiban pembuktian bagi para pihak bukan bagi hakim, dimana jika seseorang mendalilkan mempunyai suatu hak maka ia wajib membuktikan adanya hak tersebut. Begitu pula sebaliknya jika seseorang membantah hak orang lain, maka ia wajib membuktikan bantahannya tersebut. Bertitik tolak dari pasal ini, setiap gugatan perdata memberikan hak dan kesempatan kepada PENGGUGAT dan TERGUGAT, untuk saling menyanggah atau membantah dalil dalil yang diajukan melalui surat gugatan, surat jawaban, replik, duplik, pengajuan bukti bukti dan kesimpulan yang disampaikan oleh masing masing pihak. Inisiatif pengajuan fakta fakta berdasarkan alat bukti yang sah sepenuhnya berada ditangan para pihak yang berperkara bukan pada hakim yang menangani perkara. Pada asasnya dalam perkara perdata sesuai dengan ketentuan pasal 121 ayat 1 HIR yang wajib menyediakan saksi menyampaikan bukti bukti tulisan adalah pihak yang berperkara. Menjadi saksi dalam perkara perdata pada prinsipnya bukan suatau KEWAJIBAN HUKUM YANG BERSIFAT IMPERATIF, kecuali ada alasan yang sah untuk menghadirkan saksi yang ditentukan dalam pasal 139 ayat 1 dan pasal 143 HIR yaitu:
a. Saksi berdomisili dalam wilayah hukum PN yang mengadili. Bilamana saksi berdomisili diluar wilayah Hukum PN yang mengadili, maka dalam hal ini saksi tidak dapat dipaksa untuk hadir dipersidangan. Pemeriksaan terhadap diri saksi dapat didelegasikan kepada PN tempat tinggal saksi;
b. Keterangan yang akan diberikan sebagai sangat urgen dan relevan dalam meneguhkan dalil PENGGUGAT atau bantahan TERGUGAT;
Jika seorang saksi memenuhi kriteria tersebut, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat memanggil secara resmi melalui juru sita kepada saksi yangbersangkutan. Bilamana saksi ingkar memenuhi panggilan pertama yang dilakukan juru sita tersebut, maka saksi akan dipanggil untuk kedua kalinya melalui juru sita dengan sanksi:
a. Pemanggilan kedua dibebankan kepada saksi sendiri;
b. Saksi dijatuhi hukuman untuk membayar segala biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan panggilan pertama.
Dan bilamana dalam panggilan kedua ini saksi tetap ingkar, maka PN dapat membawa saksi secara paksa disidang pengadilan, melalui bantuan aparat kepolisian (pegawai umum), dan terhadap saksi tersebut dapat dihukum membayar ganti rugi yang diderita kedua belah pihak atas ingkarnya saksi.
Apakah kesaksian Notaris dalam pembuatan akta otentik, merupakan kewajiban hukum yang bersifat imperatif sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 s/d 143 HIR. Sesuai dengan ketentuan pasal 1870 KUH.Perdata jo pasal 165 HIR, pada akta otentik melekat kekuatan pembuktian lengkap (sempurna) dan mengikat, sah sebagai akta otentik, pada akta otentik mencukupi batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti lain, sehingga terhadap akta otentik ini, hakim wajib:
a. Menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna;
b. Menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan cukup terbukti;
c. Terikat akan kebenaran yang dibuktikan dengan akta tersebut dan harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil putusan dalam penyelesaian sengketa.
Pada prinsipnya akta otentik yang memiliki pembuktian sempurna dan mengikat namun tidak bersifat menentukan atau memaksa, dan karena itu terhadap akta otentik dapat diajukan bukti lawan. Bagi kesaksian Notaris yang berkaitan dengan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapannya dalam perkara perdata bukan merupakan kewajiban hukum yang bersifat imperatif, oleh karena akta otentik telah memberikan kekuatan bukti yang mencukupi tanpa perlu bantuan alat bukti lainnya menurut undang-undang.
Sebagai perbandingan di Negara Inggris yang menganut sistim hukum Common law, kekuatan pembuktian atas akta notaris tidak terlepas dari prinsip dasar dalam hukum pembuktian yang dikenal di Inggris yaitu untuk membuktikan suatu kebenaran atas kenyataan pada prinsipnya didasarkan pada kesaksian dan pernyataan secara lisan dari saksi-saksi yang diberikan dibawah sumpah dalam suatu peridangan terbuka (the principle of orality), sehingga akta notaris yang merupakan suatu dokumen tertulis berkedudukan sebagai suatu bukti permulaan kecuali notaris yang membuatnya hadir di persidangan sebagai saksi dan memberikan pernyataan dibawah sumpah atas kenyataan yang diuraikan dalam akta tersebut, baru akta notaris memiliki kekuatan bukti otentik. Dalam sistim hukum civil law, akta notaris sudah merupakan akta otentik yang telah mencukup minimal alat bukti yang sah, sehingga kehadiran notaris dalam persidangan terbuka tidak memiliki lagi urgensinya.
Langganan:
Postingan (Atom)