Senin, 25 Februari 2008

PENYEMPURNAAN PETUNJUK PELAKSANAAN LELANG

Bahan Thesisku...Maret 2008


Terhitung mulai tanggal 30 Mei 2006, Menteri Keuangan (Menkeu) menetapkan petunjuk pelaksanaan lelang melalui Peraturan Menkeu Nomor 40/PMK.07/2006. Kebijakan dimaksud merupakan penyempurnaan dari ketentuan mengenai lelang sebelumnya, dalam rangka meningkatkan pelayanan lelang. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan atau dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Pejabat Lelang terdiri dari Pejabat Lelang Kelas I dan Pejabat Lelang Kelas II. Pejabat Lelang Kelas I berkedudukan di Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) dan berwenang melaksanakan lelang untuk semua jenis lelang. Sedangkan Pejabat Lelang Kelas II berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II dan hanya berwenang melaksanakan lelang berdasarkan permintaan Balai Lelang atas jenis Lelang Non Eksekusi Sukarela, lelang aset BUMN/D berbentuk Persero, dan lelang aset milik Bank dalam likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999. Lelang pertama harus diikuti oleh paling sedikit dua peserta lelang dan lelang ulang dapat dilaksanakan dengan diikuti oleh satu peserta lelang.

Jenis lelang yang diatur pelaksanaannya meliputi : (i) Lelang Eksekusi, yaitu lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atas dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam rangka membantu penegakan hukum, (ii) Lelang Non Eksekusi Wajib, yaitu lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik negara/daerah, dan (iii) Lelang Non Eksekusi Sukarela, yaitu lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik perorangan, kelompok masyarakat atau badan swasta yang dilakukan secara sukarela oleh pemiliknya.

Penjualan secara lelang wajib didahului dengan Pengumuman Lelang yang dilakukan oleh Penjual melalui surat kabar harian yang terbit di tempat barang yang akan dilelang berada. Penjual yang bermaksud melakukan penjualan secara lelang mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis kepada Kepala KP2LN atau Pemimpin Balai Lelang disertai dengan dokumen persyaratan lelang. Sedangkan untuk menjadi peserta lelang, setiap peserta harus menyetor Uang Jaminan Penawaran Lelang yang disetor melalui rekening sesuai dengan pengumuman lelang atau tunai secara langsung kepada Bendahara Penerima KP2LN/Pejabat Lelang. Pada setiap pelaksanaan lelang, Penjual wajib menetapkan Harga Limit berdasarkan pendekatan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan, kecuali pada pelaksanaan Lelang Non Eksekusi Sukarela barang bergerak, Penjual dapat tidak mensyaratkan Harga Limit. Harga Limit dapat bersifat terbuka atau tertutup sesuai keinginan Penjual. Penawaran Lelang dapat dilakukan langsung dan atau tidak langsung melalui lisan, tertulis, atau tertulis dilanjutkan dengan lisan dalam hal penawaran tertinggi belum mencapai Harga Limit. Pada lelang yang menggunakan Harga Limit, Pejabat Lelang dapat mensahkan penawar tertinggi sebagai Pembeli apabila penawaran yang diajukan telah mencapai atau melampaui Harga Limit. Setiap pelaksanaan lelang dikenakan Bea Lelang sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Departemen Keuangan. Apabila pada saat Peraturan Menkeu dimaksud berlaku, terdapat permintaan lelang yang telah ditetapkan jadwal pelaksanaan lelangnya, maka lelang tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama.


Minggu, 24 Februari 2008

KAPITA SELEKTA KENOTARIATAN

PENGANTAR

Hukum (Isi) :

- Hukum Privat (Hukum Perdata)

- Hukum Publik

Hukum Privat – Hukum Publik

Kriteria Kepentingan

Hukum Privat : hukum yang mengatur kepentingan perorangan

Hukum Publik : hukum yang mengatur kepentingan umum

Kriteria Hubungan

Hukum Privat : hukum yang mengatur hubungan perorangan

Hukum Publik : hukum yang mengatur hubungan penguasa negara dengan perseorangan

Hukum Privat (Hukum Perdata)

- Tertulis dan tidak tertulis

Tertulis : KUH Perdata

Tidak tertulis : Hukum Adat

- Sempit dan Luas

Sempit : KUH Perdata

Luas : KUH Perdata dan KUHD

- Formal dan Materiil

Formal : Hukum Acara Perdata

Materiil : KUH Perdata

n Sistematika Hukum Perdata

A. Doktrin

- Hukum Orang

- Hukum Keluarga

- Hukum Harta Kekayaan

- Hukum Waris

B. Pembentuk UU

- Buku I : Orang

- Buku II : Kebendaan

- Buku III : Perikatan

- Buku IV : Pembuktian dan Daluwarsa

n II. Hukum Tentang Orang

n Istilah : Personenrecht (Belanda), Personal Law (Inggris)

Memuat :

- Peraturan-peraturan tentang manusia

- Sebagai subyek hukum

- Peraturan tentang kecakapan berhak dan kecakapan bertindak

- Untuk melaksanakan hak-haknya

n BW dalam Buku I dengan judul Van Personen

- Kurang tepat karena keberadaan seseorang tidak lepas dari keluarga, sehingga lebih tepat menggunakan judul “Personen en Familie Recht”

n Prinsip : Setiap manusia adalah pembawa hak tanpa terkecuali.

n Pembatasan

1. Kewarganegaraan (Pasal 21 ayat 1 UUPA) ;

2. Tempat tinggal (Pasal 10 ayat 2 UUPA) ;

3. Kedudukan atau jabatan ;

4. Tingkah laku dan perbuatan (Pasal 49 dan 53 UUP);

5. Jenis kelamin (Pasal 7 dan Pasal 11 UUP) ;

6. Keadaan tak hadir (Pasal 463 KUH Perdata).

n Kecakapan Bertindak (Handlingsbekwaam)

n Prinsip : Setiap manusia tidak terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semuanya cakap melakukan perbuatan hukum.

n Pembatasan (Pasal 1330 KUH Perdata) :

1. Orang yang belum dewasa (Pasal 330 KUH Perdata, Pasal 47 UUP, Pasal 39 ayat 1 butir a UUJN) ;

2. Orang yang berada dibawah pengampuan (Pasal 433 KUH Perdata) ;

3. Perempuan bersuami (Tidak berlaku lagi dengan SEMA Nomor 3/1963 jo Pasal 31 UUP).

n Tempat Tinggal (Domicilie)

n Rumusan Domisili :

1. Adanya tempat tertentu ;

2. Adanya orang yang selalu hadir pada tempat tersebut ;

3. Adanya hak dan kewajiban ;

4. Adanya prestasi.

n Pentingnya Domisili ;

1. Dimana seorang harus menikah (Pasal 78 KUH Perdata)

2. Dimana seorang harus dipanggil oleh pengadilan (Pasal 1393 KUH Perdata) ;

3. Pengadilan mana yang berwenang terhadap seseorang (Pasal 207 KUH Perdata).

n Macam Domisili

n Sistem Common Law

1. domicili of origin, yaitu tempat tinggal seseorang yang ditentukan oleh tempat asal seseorang sebagai tempat kelahiran ayahnya yang sah ;

2. domicili of origin domicili of dependence, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh domisili dari ayah bagi anak yang belum dewasa, domisili ibu bagi anak yang tidak sah, san bagi istri ditentukan oleh domisili suaminya ;

3. domicili of choice, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh pilihan seseorang yang telah dewasa, disamping tindak tanduknya sehari-hari.

n Hukum Eropa Kontinental (KUH Perdata)

n Tempat Tinggal Sesungguhnya dan Tempat Tinggal Yang Dipilih

n Tempat Tinggal Sesungguhnya : Tempat Tinggal melakukan perbuatan hukum pada umumnya.

1. Tempat Tinggal Sukarela (Mandiri)

2. Tempat Tinggal Wajib (Menurut Hukum)

n Tempat Tinggal Yang Dipilih

1. Dengan perjanjian

2. Perjanjian harus tertulis

3. Untuk satu atau lebih perbuatan hukum atau hubungan hukum tertentu

4. Adanya kepentingan yang wajar

n Kewarganegaraan (WNI dan WNA)

* WNA dalam kaitan dengan Penguasaan Tanah

* Secara normatif, peraturan perundang-undangan yang memfasilitasi penguasaan tanah oleh orang asing di Indonesia sudah cukup memadai.

* Pengaturan penguasaan tanah oleh orang asing dapat dijumpai pada :

a. Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA terkait dengan hak pakai atas tanah dan hak sewa.

b. PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah;

c. PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian

* Namun demikian, masih dijumpai adanya perbuatan hukum dan bentuk penguasaan tanah yang dilakukan oleh warga negara asing yang diduga merupakan penyelundupan hukum.

n Pola penguasaan tanah oleh WNA yang berindikasi penyelundupan hukum

- Terjadi pemilikan semu yang berkarakter ”Hak Milik Plus”.

- Secara formal, Warga Negara Asing tidak memiliki tanah;

- Secara material, Warga Negara Asing melalui instrumen akta notaris dapat menguasai tanah melebihi karakter hak milik.

n Hukum Keluarga

n Istilah : Familierecht (Belanda), Law Of Familie (Inggris)

n Ruang Lingkup :

1. Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan ;

2. Peraturan perceraian ;

3. Peraturan kekuasaan orang tua ;

4. Peraturan kedudukan anak ;

5. Peraturan pengampuan (curatele) ; dan

6. Peraturan perwalian.

n Peraturan Perkawinan yang Berkaitan Dengan Menjalankan Profesi Notaris

n Perjanjian Perkawinan (Pasal 29 UUP)

n Harta Kekayaan

- KUH Perdata

1. Persatuan Bulat (Pasal 119)

2. Tidak ada sama sekali persatuan (Pasal 140 ayat 2)

3. Persatuan hasil dan pendapatan (Pasal 164)

4. Persatuan untung dan rugi (Pasal 155)

- Pasal 35 UUP :

1. Harta Bersama

2. Harta Bawaan

- Pasal 36 UUP :

1. Harta Bersama Suami Istri Dapat Bertindak Atas Persetujuan Kedua Belah Pihak

2. Harta Bawaan Masing-Masing, Suami Istri Mempunyai Hak Sepenuhnya Untuk

Melakukan Perbuatan Hukum Mengenai Harta Bendanya

n III. Hukum Benda

n Pengertian : Peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak artinya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati.

n Klasifikasi Benda

n Lanjutan Klasifikasi Benda

n Lanjutan Klasifikasi Benda

n Lanjutan Klasifikasi Benda

n Hak-Hak Kebendaan Menurut UUPA

Hak-Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional (HTN)

I. Hak-hak tanah dalam HTN pada dasarnya meliputi :

a. Hak-hak atas tanah yang primer yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Negara dan bersumber langsung pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah.

Jenis hak atas tanahnya adalah :

Ø Hak Milik, baca pasal 20 s/d 27 UUPA

Ø Hak Guna Usaha, (baca pasal 28 s/d 34 UUPA dan pasal 2 s/d 18 PP No. 40 Tahun 1966)

Ø Hak Guna Bangunan (baca pasal 35 s/d 40 UUPA dan pasal 19 s/d 38 PP No. 40 Tahun 1996

Ø Hak Pakai (pasal 41 s/d 43 UUPA dan pasal 39 s/d 58 PP No. 40 Tahun 1966)

Ø HMSRS

b. Hak-hak atas tanah yang sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh pemilik tanah dan bersumber secara tidak langsung pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Hak atas tanah yang sekunder disebut pula hak baru yang diberikan di atas tanah Hak Milik dan selalu diperjanjikan antara pemilik tanah dan pemegang hak baru dan akan berlangsung selama jangka waktu tertentu

Jenis hak atas tanah yang sekunder adalah sebagai berikut:

Ø Hak Guna Bangunan (pasal 37 UUPA yo pasal 24 PP No. 40/1996)

Ø Hak Pakai (pasal 41 UUPA yo pasal 44 PP No. 40/1996)

Ø Hak Sewa (pasal 44 dan 45 UUPA dan Hak Sewa atas tanah pertanian pasal 53 UUPA dan pasal 44 dan 45 UUPA)

Ø Hak Usaha Bagi Hasil (pasal 53 UUPA yo UU No. 2 Tahun 1960 tentang “Perjanjian Bagi Hasil”

Ø Hak Gadai atas Tanah (pasal 53 UUPA yo pasal 7 UU No. 56 Prp. 1960)

Ø Hak Menumpang (pasal 53 UUPA)

Hak-hak atas tanah tersebut dapat diberikan di atas :

    1. Tanah Negara (tanah yang langsung dikuasai oleh Negara),
    2. Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan (baca halaman 14),
    3. Tanah Hak Milik.

Hak atas tanah yang primer dapat diberikan pada tanah sub a dan b di atas, dan hak atas tanah yang sekunder (hak baru) diberikan di atas tanah sub c di atas. Tata cara pemberian hak atas tanah yang primer dan hak baru yang akan diuraikan kemudian.

Pengertian Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang, untuk memakai tanah yang diberikan kepada orang dan badan hukum

Pada dasarnya tujuannya memakai tanah (secara universal) adalah untuk memenuhi 2 (dua) jenis kebutuhan, yaitu :

a. Untuk diusahakan, misalnya usaha pertanian, perkebunan, perikanan (tambak) atau peternakan

b. Untuk tempat membangun sesuatu (wadah), misalnya untuk mendirikan bangunan, perumahan, Rumah Susun (gedung bangunan bertingkat), Hotel, Proyek Pariwisata, Pabrik, Pelabuhan dan lain-lainnya.

Setiap hak atas tanah memberikan kewenangan memakai suatu bidang tanah tertentu, untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Kewenangan memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari suatu dari suatu bidang tanah tertentu yang dihaki. Dalam rangka memakai tanah mengandung kewajiban untuk memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA).

Pemakaian tanah tersebut harus sesuai dengan tujuan pemberian dan isi hak atas tanahnya serta menurut peruntukkannya sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku di Daerah yang bersangkutan (Kabupaten/Kota).

Karena pengertian tanah adalah permukaan bumi (Pasal 1 ayat 4 dan Pasal 4 ayat 1 UUPA), pemakaiannya untuk keperluan apapun, selalu meliputi penggunaan sebagian tubuh bumi dibawahnya dan sebagian ruang diatasnya, sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

Sedang ruang diatas tanah dan tubuh bumi bukan milik pemegang hak, namun boleh digunakan oleh setiap pemegang hak dalam rangka memenuhi keperluannya atau tujuannya menggunakan tanah yang bersangkutan.

UUPA menetapkan 4 (empat) jenis hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun untuk kegiatan usaha.

Untuk keperluan pribadi perorangan warga Negara Indonesia adalah Hak Milik (Pasal 20 s/d 27 UUPA).

Sedang untuk keperluan usaha adalah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dan Hak Pakai dapat pula digunakan untuk keperluan khusus.

A. Hak Milik (HM)

Hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 (yang mengandung fungsi sosial). Turun temurun berarti dapat dikuasai tanahnya secara terus menerus dan akan beralih karena hukum kepada ahli warisnya.

Terkuat dan Terpenuh berarti penguasaan tanahnya. Tidak terputus-putus dan kewenangan pemilik untuk memakai tanahnya untuk diusahakan maupun untuk keperluan membangun sesuatu selama peruntukan tanahnya belum dibatasi menurut RTRW yang berlaku.

n HM hanya khusus untuk perorangan yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia saja (pasal 21 ayat 1 dan ayat 4 UUPA), bisa dipakai sendiri, atau dipakai orang lain.

n HM dapat beralih (karena hukum) atau dialihkan (karena pemindahan hak) kepada pihak lain dibebani hak baru dengan HGB, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Usaha bagi Hasil maupun Hak Menumpang (pasal 20 dan 24 UUPA).

n Dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan (pasal 25 UUPA).

n Dapat diwakafkan (Pasal 49 UUPA).

n HM wajib didaftarkan dan mempunyai sertifikat sebagai tanda bukti hak (pasal 23 UUPA yo PP No. 24 Tahun 1997).

n HM dapat dijual, dibebaskan haknya.

B. Hak Guna Usaha (HGU) memberikan wewenang untuk menggunakan tanahnya yang langsung dikuasai Negara untuk usaha pertanian, yaitu perkebunan, perikanan dan peternakan selama jangka wakti tertentu, yaitu 25 tahun dan 35 tahun dapat diperpanjang jangka waktunya 25 tahun dan jika tanahnya masih diperlukan dapat diperbaharui haknya, yaitu diberikan kembali selama 35 tahun. Sedang untuk perusahaan dalam rangka penanaman modal dapat diberikan sekaligus 95 tahun (pasal 11 PP No. 40/1996). HGU dapat diberikan kepada warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. HGU harus diatas tanah negara.

C. Hak Guna Bangunan (HGB) memberikan wewenang untuk mendirikan bangunan diatas tanah kepunyaan pihak lain (tanah negara atau tanah Hak Milik), selama jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang jangka waktunya 20 tahun dan jika masih diperlukan dapat diperbaharui hak tersebut. Untuk perusahaan dalam rangka penanaman modal dapat diberikan sekaligus untuk 80 tahun (pasal 28 PP No. 40/1996). HGB hanya dapat diberikan kepada warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia

D. Hak Pakai (HP) memberikan wewenang untuk menggunakan tanah kepunyaan pihak lain (tanah negara atau tanah Hak Milik) selama jangka waktu tertentu, yaitu 25 tahun dan dapat diperpanjang jangka waktunya 20 tahun dan jika masih diperlukan dapat diperbaharui hak tersebut. Untuk perusahaan dalam rangka penanaman modal dapat diberikan sekaligus 70 (pasal 48 PP No. 40/1996) tahun. Tanah dengan Hak Pakai dapat digunakan untuk mendirikan bangunan atau usaha pertanian.

Hak Pakai dapat diberikan kepada :

a. Warga Negara Indonesia,

b. Badan Hukum Indonesia,

c. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia,

d. Badan Hukum Asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia,

e. Departemen, Lembaga Non Departemen dan Pemerintahan Daerah,

f. Badan keagamaan dan sosial,

g. Perwakilan Negara Asing dan perwakilan badan Internasional.

Bagi HBU-HGB dan Hak Pakai, karena tujuannya untuk keperluan bisnis atau investasi, maka hak-hak atas tanah tersebut.

- Dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

- Dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.

- Wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan (Kabupaten/ Kota) untuk mendapatkan sertfikat sebagai tanda bukti hak.

- Tanah dengan hak-hak tersebut tidak boleh disewakan kepada pihak lain, namun bangunan yang didirikan diatas tanah HGB atau Hak Pakai boleh disewakan kepada pihak lain.

Hapusnya HM, HGU, HGB dan Hak Pakai karena :

a. Jangka waktunya berakhir atau dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi.

b. Dilepaskan haknya (pelepasan hak secara sukarela) oleh pemegang hak sebelum jangka waktunya berakhir.

c. Dicabut haknya berdasarkan pasal 18 UUPA yo UU No. 20 Tahun 1961.

d. Ditelantarkan, dengan memperhatikan ketentuan PP No. 36 Tahun 1998.

e. Tanahnya musnah.

f. Karena subjeknya tidak lagi memenuhi syarat.

PEWARISAN DI BALI


Bali merupakan bagian dari daerah Indonesia, dimana di pulau ini menganut sistem kekeluargaan Patrilinial, yaitu sistem kekeluargaan yang yang mengikuti garis keturunan laki – laki atau garis keturunan ayah, dengan kekuasaan berada pada kaum laki – laki yang disebut patriarkhi.

Dengan sistem yang dianut di pulau Bali tersebut, kedudukan seorang wanita pada umumnya baik yang sudak menikah maupun yang belum menikah berada di bawah laki – laki yang sangat erat kaitannya dengan sistem pewarisan. Pewarisan di Pulau Bali mengikuti garis laki – laki, dalam arti bahwa harta warisan hanya dibagikan kepada garis keturunan laki – laki dari keluarga yang bersangkutan tetapi tidak menutup kemugkinan bahwa seorang anak perempuan mendapatkan warisan ataupun pemberian dari orang tuanya. Pemberian orang tua kepada anak perempuannya semasa anaknya tersebut belum menikah disebut dengan jiwadana.

Jiwadana merupakan pemberian orang tua ketika masih hidup kepada anak perempuannya semasa masih remaja atau belum menikah, pemberian mana diberikan untuk dimiliki selamanya dengan hak milik. Jiwadana yang dibawa oleh anak perempuannya tersebut ketika menikah dengan laki – laki calon suaminya, akan menjadi harta bawaan dari istri ke dalam perkawinan tersebut, sehingga jiwadana akan menjadi satu dengan harta yang dimiliki oleh pihak suami yang merupakan harta goni (harta bersama). Tetapi jiwadana tersebut tidak menjadi harta bersama dalam perkawinan, apabila perkawinan tersebut disertai dengan perjanjian kawin yang berarti adanya pemisahan harta bagi seorang istri dan suami. Dalam hal terjadinya pisah harta tersebut, apabila pihak istri sudah meninggal dan dalam perkawinan tersebut tidak dikaruniai anak maka terhadap jiwadana tersebut akan jatuh atau kembali kepada pihak keluarga perempuan atau pihak istri.

Anak perempuan yang mendapatkan jiwadana tersebut memiliki hak sepenuhnya atas pemberian orang tuanya tersebut dan jiwadana tidak dapat diminta atauapun ditarik kembali oleh siapapun tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dari pemberi jiwadana maupun penerima jiwadana.

Proses pewarisan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu ;

1. Pada waktu pewaris masih hidup ;

a. Jiwadana, merupakan pemberian orang tua semasih hidup kepada anak perampuannya yang belum menikah, pemberian mana dimiliki dengan status hak milik.

b. Pengupa Jiwa, merupakan pemberian orang tua kepada anaknya tetapi hanya terbatas untuk menikmati hasilnya tanpa harus menguasainya dengan hak milik.

c. Pedum Pamong, merupakan pembagian harta warisan yang bersifat sementara, dimana setelah orang tuanya meninggal pembagian yang telah dilakukan tersebut diperhitungkan lagi oleh para ahli warisnya. Tetapi pembagian tersebut juga dapat bersifat tetap apabila adanya kesepakatan diantara para ahli warisnya.

2. Warisan, yaitu dilakukan setelah pewaris meninggal.

3. Melalui hibah wasiat, yaitu dilakukan pada saat orang tua masih hidup, tetapi peksanaannya dilakukan setelah orang tuanya meninggal.